5
MENARA
Resensi
Film
Darul
Huwisnu
Sastra
Arab UNPAD 2010
Man Jadda Wa Jadda,
mungkin itulah tagline dari film
5 Menara, film yang dibuat berdasarkan sebuah novel dengan judul yang sama.
Film yang dibesut oleh sutradara kawakan Affandi A Rachman ini menceritakan
kisah persahabatan 6 pemuda yang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren
bernama pondok Madani. Cerita film ini diawali ketika sang tokoh utama, yaitu
Alif Fikri lulus dari Madrasah Tsanawiyah/ SMP di daerah Padang. Cita-citanya
adalah melanjutkan sekolah ke SMA lalu kuliah di ITB dan menjadi seperti
Habibie. Tapi takdir berkata lain, kedua orangtuanya sepakat untuk
menyekolahkannya di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Dengan berat hati
akhirnya Alif mengubur semua cita-citanya dan mengikuti kemauan orangtuanya.
Dihari pertama di Pondok Madani, Alif terkesima dengan
kalimat “sakti” Man Jadda Wa Jadda,
siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Kalimat inilah yang
menguatkan Alif untuk berjuang di Pondok Madani. Dipersatukan oleh hukuman
jewer berantai, Alif berteman dengan Baso dari Gowa, Said dari Surabaya,
Dulmajid dari Madura, Raja dari Medan, dan Atang dari Bandung. Kebiasaan mereka
untuk berkumpul di bawah menara masjid membuat mereka mendapat julukan Sahibul Menara atau pemilik menara. Di
bawah menara masjid inilah mereka menunggu Maghrib sambil menatap iringan awan
yang berarak ke ufuk, awan yang menjelma menjadi negara dan benua impian
masing-masing.
Kisah para Sahibul
Menara di film ini benar-benar mengandung pesan moral yang hebat. Pesan
yang disampaikan dengan lugas cerdas, dan tidak terkesan menggurui.
Namun seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak
retak”, film ini juga memiliki beberapa kekurangan. Seperti pada umumnya film
yang diangkat dari sebuah novel, ada beberapa bagian yang dirubah dan
ditiadakan dalam film ini. Seperti kisah Alif yang gagal untuk berfoto dengan
Sarah yang merupakan puteri dari ustadznya, Baso yang memutus pendidikannya
ditahun pertama, padahal di novel terjadi ditahun terakhir. Film ini juga tidak
menceritakan beberapa bagian cerita terbaik yang ada di novel, seperti bagian
penangkapan maling sapi di pesantren, dan perjuangan para anggota koran Syams
(organisasi pers pesantren yang diikuti oleh Alif) untuk membuat liputan langsung kunjungan
presiden ke pondok Madani. Hal ini tentu saja mengurangi kepuasan para penonton
yang telah membaca novelnya.
Tetapi secara keseluruhan, film ini adalah film yang bisa
ditonton oleh seluruh kalangan dan sangat pas disaksikan bersama keluarga.
Khusus untuk para mahasiswa UNPAD, mungkin juga sudah tidak sabar untuk
menyaksikan lanjutan dari film ini yaitu “Ranah 3 Warna” yang menceritakan
kisah perjuangan Alif di bangku kuliah Universitas Padjadjaran.