Selamat Datang Kawan

Blog ini akan membuat anda lebih cerdas dan bersemangat!.

DARUL

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Datang Kawan

Blog ini akan membuat anda lebih cerdas dan bersemangat!.

Laman

Jumat, 24 Agustus 2012

Resensi Film 5 Menara


5 MENARA
Resensi Film
Darul Huwisnu
Sastra Arab UNPAD 2010
            Man Jadda Wa Jadda, mungkin itulah tagline dari film 5 Menara, film yang dibuat berdasarkan sebuah novel dengan judul yang sama. Film yang dibesut oleh sutradara kawakan Affandi A Rachman ini menceritakan kisah persahabatan 6 pemuda yang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren bernama pondok Madani. Cerita film ini diawali ketika sang tokoh utama, yaitu Alif Fikri lulus dari Madrasah Tsanawiyah/ SMP di daerah Padang. Cita-citanya adalah melanjutkan sekolah ke SMA lalu kuliah di ITB dan menjadi seperti Habibie. Tapi takdir berkata lain, kedua orangtuanya sepakat untuk menyekolahkannya di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Dengan berat hati akhirnya Alif mengubur semua cita-citanya dan mengikuti kemauan orangtuanya.
            Dihari pertama di Pondok Madani, Alif terkesima dengan kalimat “sakti” Man Jadda Wa Jadda, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Kalimat inilah yang menguatkan Alif untuk berjuang di Pondok Madani. Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dengan Baso dari Gowa, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Madura, Raja dari Medan, dan Atang dari Bandung. Kebiasaan mereka untuk berkumpul di bawah menara masjid membuat mereka mendapat julukan Sahibul Menara atau pemilik menara. Di bawah menara masjid inilah mereka menunggu Maghrib sambil menatap iringan awan yang berarak ke ufuk, awan yang menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing.
            Kisah para Sahibul Menara di film ini benar-benar mengandung pesan moral yang hebat. Pesan yang disampaikan dengan lugas cerdas, dan tidak terkesan menggurui.
            Namun seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”, film ini juga memiliki beberapa kekurangan. Seperti pada umumnya film yang diangkat dari sebuah novel, ada beberapa bagian yang dirubah dan ditiadakan dalam film ini. Seperti kisah Alif yang gagal untuk berfoto dengan Sarah yang merupakan puteri dari ustadznya, Baso yang memutus pendidikannya ditahun pertama, padahal di novel terjadi ditahun terakhir. Film ini juga tidak menceritakan beberapa bagian cerita terbaik yang ada di novel, seperti bagian penangkapan maling sapi di pesantren, dan perjuangan para anggota koran Syams (organisasi pers pesantren yang diikuti oleh Alif)  untuk membuat liputan langsung kunjungan presiden ke pondok Madani. Hal ini tentu saja mengurangi kepuasan para penonton yang telah membaca novelnya.
            Tetapi secara keseluruhan, film ini adalah film yang bisa ditonton oleh seluruh kalangan dan sangat pas disaksikan bersama keluarga. Khusus untuk para mahasiswa UNPAD, mungkin juga sudah tidak sabar untuk menyaksikan lanjutan dari film ini yaitu “Ranah 3 Warna” yang menceritakan kisah perjuangan Alif di bangku kuliah Universitas Padjadjaran.