“Hua.....bt...bt...”
“Bt kenapa Pit?”
Ujar Kang Wisnu sambil tersenyum.
“Iyalah kang bt, tadi Pit sudah ngeberaniin diri dan menggadaikan
seluruh......harga diri Pit buat negur si Himawan duluan, tapi malah dicuekin.
Hua.....bt...malu.”
“oooo”
Aku benar-benar kesal dengan tanggapan kang Wisnu yang hanya ‘oooo’.
“ya..., sebenarnya wajar kalau Himawan tidak membalas sapaan Kamu,
soalnya...”
“Soalnya apa kang??? Pit jelek? Apa gak tau malu karena negur cowok duluan?
Udah ah...Pit juga bt sama Akang!!! Pit pulang dulu Kang.”
Aku langsung bergegas meninggalkan Kang Wisnu yang hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pokoknya, besok aku harus ngomong ke dia. Sombong banget sih jadi cowok,
masa gak pernah mau ngeluarin suaranya. Sedikit...aja.”
Aku berbicara dengan hatiku.
Esok paginya, aku bergegas ke perpustakaan berharap dapat bertemu dengan
Himawan lagi di sana. Namun sayang, sesampainya di sana aku tidak melihat
Himawan. Aku memutuskan untuk menunggu sebentar. Setelah menaruh tas di loker,
aku masuk ke ruang baca dan duduk tanpa membaca buku.Sekitar 1 jam aku
menunggu, namun yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang. Aku memutuskan untuk
meninggalkan perpustakaan, dan berharap bisa bertemu Himawan esok hari.
Setelah mengambil tas dan mengucapkan terimakasih pada bapak penjaga
perpus, aku bergegas keluar perpustakaan. Namun ketika tepat di depan pintu,
aku berpapasan dengan Himawan. Aku dan dia sama-sama terkejut, kami saling
bertatapan beberapa saat. Lalu aku memberanikan diri untuk menegurnya.
“Hai...Himawan.”
Himawan hanya tersenyum, dan langsung membalikkan badannya untuk
meninggalkanku. Secara reflek, aku langsung memegang tangannya dan menariknya
kembali.
“Tunggu...tunggu..., jangan pergi dulu.”
Himawan nampak bingung akan ulahku.
“Iya, jangan pergi dulu, aku cuma mau ngobrol sebentar.”
Himawan tidak menanggapi omonganku, yang ada raut wajahnya justru nampak
semakin bingung.
“Yaudah kalau gak mau ngobrol, tapi seenggaknya jawab kek sapaanku. Mahal
banget suaranya.”
Himawan nampak semakin bingung, dan wajahnya mulai pucat pasi.
“Hei..Himawan, ngomong dong. Sombong amat, jangan hanya bisa ngomong lewat note
doang.”
Himawan mulai membuka mulutnya, akhirnya saat-saat yang aku tunggu tiba,
aku bisa mendengar suara Himawan. Namun,....
“Eee,ma...f...U..da....sa..b...ca..ra.....ap...ap....Pit..”
Bagai disambar petir di siang bolong, ternyata Himawan tidak bisa
berbicara. Himawan melepaskan tanganku dari tangannya, dan dengan mata yang
berkaca-kaca, dia mengangguk dan berbalik meninggalkanku yang masih diam
membisu di depan perpustakaan.
bersambung