Rabu, 23 Desember 2015
Minggu, 13 Desember 2015
"NOTE" part 4
Kini aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, perasaanku kini bercampur
aduk. Mulai dari perasaan bersalah, karena telah berburuk sangka dan menyakiti
hati Himawan, rasa suka yang entah masih ada atau tidak setelah mengetahui
kekurangannya, dan rasa malu karena telah marah dan memaksa Himawan untuk
berbicara. Aku hanya menatap kosong ke depan, memandangi orang yang berlalu
lalang di depan gazebo fakultas Ilmu Budaya ini.
“Woi...jangan bengong.”
Suara itu menyadarkanku dari lamunanku.
“Ih...Kang Wisnu...ngagetin aja.”
“Maaf...maaf...., lagian siang-siang bengong. Nanti kesurupan
lho. Kan gak lucu, kalau nanti kamu masuk headline koran kampus.
‘Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, Kesurupan di Gazebo Fakultas.’ Ha..Ha...”
Aku hanya tersenyum kecut, kemudian secara perlahan air mataku meleleh.
“Yah...malah nangis, maaf Pit...maaf. Gak bermaksud menyinggung.”
“Iya Kang gak papa, harusnya Pit yang minta maaf karena kemarin sudah ngambek ke
Akang.”
“He..He..santai aja. Ngomong-ngomong, kamu kenapa Pit? Dari tadi bengong
dan sekarang tiba-tiba nagis.”
“Gak tau Kang, perasaan Pit campur aduk.”
“Sok...cerita atuh, siapa tahu ada yang bisa dibanting, He..He..”
“Hhaa..., Akang, masih aja bercanda.”
“He..He...Peace. Sok sekarang cerita.”
Lalu aku menceritakan peristiwa yang kualami pagi tadi ke Kang Wisnu. Usai
mendengarkan ceritaku, Kang Wisnu hanya tersenyum.
“Tuh kan..Akangnya malah senyum....pasti Pit di mata Akang sudah hina
banget.”
“Bukan gitu pit, saya senyum...ya karena memang harus tersenyum.”
“Kok gitu kang?”
“Ya...sebenarnya saya sudah tahu kalau Himawan itu tuna wicara.”
“Ih..Jahat...Akang sudah tahu tapi gak cerita-cerita.”
“Lah...gimana mau cerita, orang sebelum cerita kamunya sudah ngambek dan
ninggalin saya.”
“Oh..iya Kang?”
“Iya, kemarin itu, saya mau ngasih tahu kamu, Himawan tidak pernah membalas
sapaan kamu bukan karena sombong, tapi memang karena dia gak bisa bicara. Dia malu sama
kamu.”
“Oh, gitu
kang. Pit ngerti sekarang. Pit nya jadi gak enak banget sama Himawannya.”
“Yah…mau
gimana lagi Pit. Sekarang, kalau kamu merasa bersalah ya minta maaf ke
Himawannya.”
“Iya Kang
pasti. Tapi Pit juga masih galau Kang.”
“Galau kenapa
lagi?”
“Galau sama
perasaan Pipit ke Himawan. Setelah tahu dia Tuna wicara, jadi gimana gitu. kasihan
Himawannya, tapi Pit malu kalau nanti ada hubungan sama dia. Tapi, masih ada
rasa. Tapi….ya…gitu deh. Pokoknya galau.”
Kang wisnu
tersenyum, dan beranjak dari kursinya.
“Pit, usahakan
jangan memulai suatu hubungan sebelum kamu siap. Lalu, yakinkan hati kamu. Rasa sayang kamu ke dia, rasa sayang karena hati, atau rasa sayang karena
kasihan.”
Aku terhenyak mendengar nasihat dari Kang Wisnu.
“Sudah, jangan galau lagi. Hidup itu pilihan, apapun yang kamu pilih dengan
niatan yang baik, insya Allah hasilnya juga akan baik. Sudah ya Pit, saya pamit
dulu, mau ada rapat. Wassalammualaikum.”
Kang Wisnu langsung bergegas meninggalkanku.
“Walaikumsalam Kang.”
bersambung
PERSIB KLUB PROFESIONAL DAN MODERN
Jawa Barat berpesta, Jawa Barat bereuforia, karena PERSIB juara.
Itulah yang terjadi selama sepekan ini di bumi Parahyangan. PERSIB Bandung,
klub kebanggaan warga Jawa Barat akhirnya berhasil mengakhiri dahaga gelar 19
tahun tanpa mahkota liga Indonesia. Puluhan milyar digelontorkan, puluhan
pemain bintang didatangkan silih berganti, bertahun-tahun doa dikumandangkan
oleh para bobotoh dan akhirnya segala ikhtiar itu terjawab.
Jika ditelisik lebih dalam,, sangat wajar PERSIB berhasil menyabet
gelar musim ini. Manajemen klub berkualitas yang bernaung
dalam PT Persib Bandung Bermartabat yang di nahkodai H. Umuh Muchtar,serta dukungan
para birokrat Jawa Barat yang tidak pernah berhenti, membuat klub ini sehat
secara finansial dan mental.
Di zaman liga Indonesia yang mewajibkan klub mandiri dan tidak
bergantung pada dana APBD sesuai dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 yang direvisi
menjadi Permendagri Nomor 59/2007, telah membuat banyak klub besar liga
Indonesia terpuruk. Kita bisa melihat PSMS Medan, PSM Makassar, PERSEBAYA Surabaya, PSIS Semarang dan beberapa klub besar
lainnya yang tiba-tiba saja collapse bahkan merasakan degradasi setelah
tidak mendapatkan gelontoran dana dari APBD.Namun PERSIB tetap berdiri gagah di
divisi utama Liga Indonesia.
Strategi manajemen klub yang mengadopsi strategi klub-klub besar
Eropa seperti Real Madrid, Bayern Muenchen, dan Manchester United, yakni
mengumpulkan banyak bintang dengan tujuan menarik banyak supporter dan
sponsorpun telah menuai keberhasilan, terbukti dari banyaknya sponsor yang terpatri jelas di jersey kebanggaan. Suporterpun dengan sukarela membeli jersey dan merchandise klub
original yang tentu saja menambah pemasukan bagi klub. Stadion yang selalu
dipadati para bobotoh disetiap pertandingan juga menambah pundi-pundi uang
serta semangat yang tentu saja berimbas positif bagi klub kebanggaan Jawa Barat ini.
Para birokrat Jawa Baratpun tak ingin kalah dalam membangun klub
yang telah menjadi ikon tersendiri bagi Jawa Barat ini. Mulai dari pembangunan
stadion baru “Gelora Bandung Lautan Api”, hingga datang pada setiap pertandingan penting PERSIB, menjadi suatu dukungan moril yang sangat luar biasa. Tanpa bermaksud mengecilkan klub lain,
inilah unsur-unsur profesional yang telah dimiliki PERSIB yang belum dimiliki
oleh sebagian besar klub peserta Liga Indonesia lainnya. Unsur yang memang
seharusnya dimiliki oleh klub yang ingin berkompetisi dalam sebuah liga yang
kompetitif dan profesional.
Sekarang, semua kerja keras dan positif oleh seluruh elemen yang ada di PERSIB bahkan
Jawa Barat telah berhasil, dahaga gelar telah terpuaskan. Namun, jangan
menjadikan ini semua sebagai akhir dari perjuangan. Kelemahan terbesar dari
suatu keberhasilan adalah rasa puas berkepanjangan yang akhirnya membuat
terlena dan jatuh terpuruk ke dalam lubang kegagalan. Ingat, semakin tinggi
pohon maka akan semakin kencang angin yang bertiup untuk menjatuhkannya. Gelar
juara Liga Indonesia bukanlah akhir, namun awal dari segalanya. Ingat, masih
ada kompetisi tingkat Asia yang telah menunggu. Tidak hanya membawa nama Jawa
Barat, namun juga Indonesia. Masih ada pula Liga Indonesia musim depan dan
musim-musim seterusnya yang akan terus bergulir.
Sekarang segala elemen yang ada di PERSIB
mulai dari pemain, manajemen, birokrat Jawa Barat, hingga bobotoh wajib
hukumnya menjaga konsistensi. Jangan sampai ada oknum-oknum yang justru
menjerat atau memanfaatkan momentum yang akhirnya justru membuat klub ini
terpuruk di masa depan.
Ingat, kini PERSIB tidak hanya milik Jawa
Barat tapi juga milik Indonesia. Berjuanglah terus di liga Indonesia dan
berjayalah di Liga Champion Asia.
REVOLUSI MENTAL TIMNAS SEPAK BOLA INDONESIA
Masyarakat Indonesia saat ini sedang
disibukkan oleh naiknya BBM. Pendapat Pro dan Kontra silih berganti dilontarkan
oleh kalangan akademisi, birokrat, hingga rakyat kecil.Setelah Pilpres, kini
rakyat Indonesia kembali terpecah oleh masalah besar namun sederhana, banyak
yang akan tersakiti namun pasti ada solusi. Hingar bingar naiknya BBM bahkan
telah menenggelamkan pemberitaan kompetisi sepakbola yang selalu ditunggu oleh
masyarakat Indonesia, bahkan Asia Tenggara, yakni Piala AFF 2014.
Banyak yang berpendapat, rakyat telah lelah
oleh prestasi Timnas sepakbola. Berkali-kali gagal di berbagai kompetisi
internasional, yang terakhir tentu saja kegagalan Timnas U-19 yang
digadang-gadang akan sukses besar di piala Asia U-19, namun tetap saja berakhir
dengan tragis. Hal ini membuat rakyat yang haus akan gelar juara, mulai
terbiasa akan rasa haus tersebut. Sebenarnya prestasi Timnas tidak terlalu
jeblok, setidaknya untuk di kawasan Asia Tenggara kita hampir selalu masuk
final. Namun, jika sering masuk final dan berakhir gagal, tetap saja membuat
rakyat kesal.
Semenjak gelaran perdana pada tahun 1996,
Timnas Indonesia belum pernah sekalipun menjadi juara di ajang ini. Prestasi
terbaik Timnas hanya empat kali runner-up, yakni pada edisi 2000, 2002, 2004,
serta 2010 silam. Bahkan pada edisi terakhir di tahun 2012 lalu, Timnas
Indonesia yang bermaterikan pemain-pemain non-reguler (karena dualisme PSSI)
tak mampu lolos dari fase grup.
Sesungguhnya tidak ada masalah teknik yang
berarti dengan permainan Timnas Indonesia, bahkan untuk ukuran Asia Tenggara
kualitas teknik pemain-pemain Indonesia masih yang terbaik. Ditambah dukungan
rakyat yang selalu memberikan dukungan disetiap pertandingan, dan bonus besar
yang selalu disiapkan oleh PSSI tak ada alasan timnas tidak bisa menjadi juara.
Namun permasalahan sesungguhnya memang bukan pada
teknik atau dukungan, namun ada pada mental pemain. Sudah menjadi rahasia umum
para pemain timnas Indonesia memiliki mental yang buruk,sama sekali tidak
memiliki mental juara. Salah satu buktinya adalah Sepakbola “gajah” yang
diperagakan Timnas Indonesia dan Thailand di piala Tiger 1998 (sebelum berganti
nama menjadi AFC Cup). Karena ingin menghindari tuan rumah Vietnam di babak
semifinal, Thailand dan Indonesia sama-sama menghindari kemenangan. Skor 2-2 yang bertahan hingga dipenghujung babak kedua, ditutup dengan gol
bunuh diri yang dilakukan dengan sengaja oleh Mursyid Effendi dan skor pun
berubah menjadi 2-3 untuk kekalahan Indonesia. Tragisnya, Timnas tetap kalah di
semifinal.
Periode selanjutnya yakni pada edisi 2000,
2002, 2004, serta 2010 Indonesia berhasil masuk final namun gagal menjadi
juara. Kita tentu masih ingat Piala AFC 2010 dimana Timnas Indonesia bermain
sangat luar biasa di babak penyisihan hingga semifinal, namun karena mental
yang buruk mereka berhasil dijungkalkan Timnas Malaysia yang sebelumnya telah
dihancurkan dibabak penyisihan. Alasannya sederhana, hanya karena teror sinar
laser di stadion Bukit Jalil Malaysia. Jika kita melihat di beberapa negara di
benua Amerika dan Eropa, teror yang didapatkan pemain tidak hanya sorotan sinar
laser, namun juga lemparan kembang api bahkan desingan peluru.
Namun yang terparah tentu saja para pemain yang
mendadak ‘artis’. Bermain dengan sangat luar biasa di babak penyisihan membuat
para pemain terlena, bukan berlatih mereka malah sutting iklan. Hal yang
membuat seluruh rakyat Indonesia kecewa, bahkan menjadi tertawaan hingga kini.
Sekarang hal-hal buruk itu harus segera
ditinggalkan, bukan untuk dilupakan namun dijadikan pelajaran. Rakyat yang
sedang mengalami masa sulit ini butuh hiburan dan kebahagiaan, tidak harus
berupa materi namun cukup berupa prestasi. Materi pemain, Tim pelatih, dukungan
rakyat dan pejabat telah berdatangan. Kini lawan terberat bukanlah Vietnam,
Malaysia, atau Thailand namun diri sendiri.Setelah dualisme PSSI berhasil
dibenahi, dan sistem kepelatihanpun telah di evaluasi, kini tinggal mental yang
harus di revolusi.
Rabu, 30 Juli 2014
Sabar
Terkadang sulit untuk menerima keadaan, bahkan sangat sulit untuk menghadirkan kesabaran. Banyak doa yang terasa tak kunjung terasa ijabahnya, ada yang terasa namun ternyata hanyalah fatamorgana, terlihat jelas, namun tak dapat disentuh.
Banyak mimpi besarku sebagai mahasiswa telah berhasil kuwujudkan, namun semua terasa kurang karena yang terbesar pada akhirnya tidak terwujud.
Ya...mimpi terbesarku sebagai mahasiswa adalah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Mesir, dan itu tak dapat kuwujudkan.
Bukan karena aku tak berikhtiar, atau tak ada jaringan untuk menuju kesana, namun memang keadaanlah yang tak memungkinkan.
Pada tahun ketiga, aku sangat berpeluang u/ bisa mengikuti program "sandwich" ke Canal Suez Mesir, namun apa daya ada amanah yg harus kuemban disini dan aku tak akan membahasnya sama sekali karena amanah itu adalah kewajiban yang harus aku pertanggungjawabkan pada Allah kelak.
Pada tahun terakhirKu, aku berkesempatan u/mengikuti program yang sama ditambah program penelitian di Sudan, namun kali ini terbentur oleh Mamaku.
Ya, aku hanya tinggal berdua dengan beliau dan juga menjadi tumpuan perekonomian kami kelak. Sungguh tak mungkin jika aku meninggalkan beliau seorang diri di Indonesia dan menunda kelulusanku pula.
Jujur, sempat terbersit kekecewaan dalam hatiku apalagi ketika melihat sahabat dan orang-orang terdekatku terasa sangat mulus mewujudkan mimpi-mimpinya ke luar negeri. Namun, aku sungguh bersyukur selalu diingatkan oleh Allah.
Dikala kekecewaan ini semakin membuncah bahkan amarah akan ketidakberhasilan dan ketidakadilan semakin meluap, beberapa hari ini aku diperlihatkan bagaimana kerasnya mama bekerja untuk kami.
Meskipun biaya kuliah dan segala perlengkapan penunjangnya bisa aku penuhi dengan beasiswa, dan uang hadiah dari lomba" yg kuikuti, biaya makan selama 4 tahun ini tetaplah beliau yg penuhi.
Aku merasakan betapa beratnya beliau mencari tambahan uang dengan membuka catering kecil-kecilan dan bisnis spray&bed covernya. Setiap pagi harus kepasar dan belanja dengan bobot belanjaan yang sangat berat, pasar yang jauh dan penuh sesak. Belum lagi beliau yang selalu lembur untuk menambah insentif gajinya. Dan hal tersebut sudah dilakukannya dari 23 tahun yg lalu semenjak mengandungku.
Ya..Allah telah mengingatkanku, selama 23 tahun lebih beliau berkorban untukku dan bersabar atas pengorbanannya, masa sekarang aku tidak bisa bersabar untuk 1-2 tahun saja. Bekerja dan bisnis untuk memenuhi segala kebutuhan primer dan sekunder kami sehingga aku bisa meninggalkan Indonesia dengan tenang. Akupun teringat perkataan salah satu ustadz , "berdoa itu ibarat mengamen, kalau suara pengamennya jelek pasti cepet dikasih uangnya biar tuh pengamen pergi, dan uangnya pasti receh. Beda sama pengamen yang suaranya merdu, pasti dikasih duitnya lama karena suaranya mau didengerin lama-lama, tapi uang yg dikasih pasti gede dan bukan recehan. Sama kayak berdoa, makin dia bagus doa dan akhlaknya, biasanya makin lama doanya terwujud, tapi hasilnya pas terwujud pasti dahsyat!"
Yah..sekarang berarti tinggal terus ikhtiar dan bersabar, "Allah tahu, tapi menunggu." Kelak, pengorbanan dan kesabaran pasti berbuah manis karena itu janji Allah dan JanjiNya pasti selalu ditepati.
Amin....
Langganan:
Postingan (Atom)