Masyarakat Indonesia saat ini sedang
disibukkan oleh naiknya BBM. Pendapat Pro dan Kontra silih berganti dilontarkan
oleh kalangan akademisi, birokrat, hingga rakyat kecil.Setelah Pilpres, kini
rakyat Indonesia kembali terpecah oleh masalah besar namun sederhana, banyak
yang akan tersakiti namun pasti ada solusi. Hingar bingar naiknya BBM bahkan
telah menenggelamkan pemberitaan kompetisi sepakbola yang selalu ditunggu oleh
masyarakat Indonesia, bahkan Asia Tenggara, yakni Piala AFF 2014.
Banyak yang berpendapat, rakyat telah lelah
oleh prestasi Timnas sepakbola. Berkali-kali gagal di berbagai kompetisi
internasional, yang terakhir tentu saja kegagalan Timnas U-19 yang
digadang-gadang akan sukses besar di piala Asia U-19, namun tetap saja berakhir
dengan tragis. Hal ini membuat rakyat yang haus akan gelar juara, mulai
terbiasa akan rasa haus tersebut. Sebenarnya prestasi Timnas tidak terlalu
jeblok, setidaknya untuk di kawasan Asia Tenggara kita hampir selalu masuk
final. Namun, jika sering masuk final dan berakhir gagal, tetap saja membuat
rakyat kesal.
Semenjak gelaran perdana pada tahun 1996,
Timnas Indonesia belum pernah sekalipun menjadi juara di ajang ini. Prestasi
terbaik Timnas hanya empat kali runner-up, yakni pada edisi 2000, 2002, 2004,
serta 2010 silam. Bahkan pada edisi terakhir di tahun 2012 lalu, Timnas
Indonesia yang bermaterikan pemain-pemain non-reguler (karena dualisme PSSI)
tak mampu lolos dari fase grup.
Sesungguhnya tidak ada masalah teknik yang
berarti dengan permainan Timnas Indonesia, bahkan untuk ukuran Asia Tenggara
kualitas teknik pemain-pemain Indonesia masih yang terbaik. Ditambah dukungan
rakyat yang selalu memberikan dukungan disetiap pertandingan, dan bonus besar
yang selalu disiapkan oleh PSSI tak ada alasan timnas tidak bisa menjadi juara.
Namun permasalahan sesungguhnya memang bukan pada
teknik atau dukungan, namun ada pada mental pemain. Sudah menjadi rahasia umum
para pemain timnas Indonesia memiliki mental yang buruk,sama sekali tidak
memiliki mental juara. Salah satu buktinya adalah Sepakbola “gajah” yang
diperagakan Timnas Indonesia dan Thailand di piala Tiger 1998 (sebelum berganti
nama menjadi AFC Cup). Karena ingin menghindari tuan rumah Vietnam di babak
semifinal, Thailand dan Indonesia sama-sama menghindari kemenangan. Skor 2-2 yang bertahan hingga dipenghujung babak kedua, ditutup dengan gol
bunuh diri yang dilakukan dengan sengaja oleh Mursyid Effendi dan skor pun
berubah menjadi 2-3 untuk kekalahan Indonesia. Tragisnya, Timnas tetap kalah di
semifinal.
Periode selanjutnya yakni pada edisi 2000,
2002, 2004, serta 2010 Indonesia berhasil masuk final namun gagal menjadi
juara. Kita tentu masih ingat Piala AFC 2010 dimana Timnas Indonesia bermain
sangat luar biasa di babak penyisihan hingga semifinal, namun karena mental
yang buruk mereka berhasil dijungkalkan Timnas Malaysia yang sebelumnya telah
dihancurkan dibabak penyisihan. Alasannya sederhana, hanya karena teror sinar
laser di stadion Bukit Jalil Malaysia. Jika kita melihat di beberapa negara di
benua Amerika dan Eropa, teror yang didapatkan pemain tidak hanya sorotan sinar
laser, namun juga lemparan kembang api bahkan desingan peluru.
Namun yang terparah tentu saja para pemain yang
mendadak ‘artis’. Bermain dengan sangat luar biasa di babak penyisihan membuat
para pemain terlena, bukan berlatih mereka malah sutting iklan. Hal yang
membuat seluruh rakyat Indonesia kecewa, bahkan menjadi tertawaan hingga kini.
Sekarang hal-hal buruk itu harus segera
ditinggalkan, bukan untuk dilupakan namun dijadikan pelajaran. Rakyat yang
sedang mengalami masa sulit ini butuh hiburan dan kebahagiaan, tidak harus
berupa materi namun cukup berupa prestasi. Materi pemain, Tim pelatih, dukungan
rakyat dan pejabat telah berdatangan. Kini lawan terberat bukanlah Vietnam,
Malaysia, atau Thailand namun diri sendiri.Setelah dualisme PSSI berhasil
dibenahi, dan sistem kepelatihanpun telah di evaluasi, kini tinggal mental yang
harus di revolusi.
0 komentar:
Posting Komentar