Laman

Minggu, 13 Desember 2015

REVOLUSI MENTAL TIMNAS SEPAK BOLA INDONESIA

Masyarakat Indonesia saat ini sedang disibukkan oleh naiknya BBM. Pendapat Pro dan Kontra silih berganti dilontarkan oleh kalangan akademisi, birokrat, hingga rakyat kecil.Setelah Pilpres, kini rakyat Indonesia kembali terpecah oleh masalah besar namun sederhana, banyak yang akan tersakiti namun pasti ada solusi. Hingar bingar naiknya BBM bahkan telah menenggelamkan pemberitaan kompetisi sepakbola yang selalu ditunggu oleh masyarakat Indonesia, bahkan Asia Tenggara, yakni Piala AFF 2014.
Banyak yang berpendapat, rakyat telah lelah oleh prestasi Timnas sepakbola. Berkali-kali gagal di berbagai kompetisi internasional, yang terakhir tentu saja kegagalan Timnas U-19 yang digadang-gadang akan sukses besar di piala Asia U-19, namun tetap saja berakhir dengan tragis. Hal ini membuat rakyat yang haus akan gelar juara, mulai terbiasa akan rasa haus tersebut. Sebenarnya prestasi Timnas tidak terlalu jeblok, setidaknya untuk di kawasan Asia Tenggara kita hampir selalu masuk final. Namun, jika sering masuk final dan berakhir gagal, tetap saja membuat rakyat kesal.
Semenjak gelaran perdana pada tahun 1996, Timnas Indonesia belum pernah sekalipun menjadi juara di ajang ini. Prestasi terbaik Timnas hanya empat kali runner-up, yakni pada edisi 2000, 2002, 2004, serta 2010 silam. Bahkan pada edisi terakhir di tahun 2012 lalu, Timnas Indonesia yang bermaterikan pemain-pemain non-reguler (karena dualisme PSSI) tak mampu lolos dari fase grup.
Sesungguhnya tidak ada masalah teknik yang berarti dengan permainan Timnas Indonesia, bahkan untuk ukuran Asia Tenggara kualitas teknik pemain-pemain Indonesia masih yang terbaik. Ditambah dukungan rakyat yang selalu memberikan dukungan disetiap pertandingan, dan bonus besar yang selalu disiapkan oleh PSSI tak ada alasan timnas tidak bisa menjadi juara.
Namun permasalahan sesungguhnya memang bukan pada teknik atau dukungan, namun ada pada mental pemain. Sudah menjadi rahasia umum para pemain timnas Indonesia memiliki mental yang buruk,sama sekali tidak memiliki mental juara. Salah satu buktinya adalah Sepakbola “gajah” yang diperagakan Timnas Indonesia dan Thailand di piala Tiger 1998 (sebelum berganti nama menjadi AFC Cup). Karena ingin menghindari tuan rumah Vietnam di babak semifinal, Thailand dan Indonesia sama-sama menghindari kemenangan.  Skor 2-2 yang bertahan hingga  dipenghujung babak kedua, ditutup dengan gol bunuh diri yang dilakukan dengan sengaja oleh Mursyid Effendi dan skor pun berubah menjadi 2-3 untuk kekalahan Indonesia. Tragisnya, Timnas tetap kalah di semifinal.
Periode selanjutnya yakni pada edisi 2000, 2002, 2004, serta 2010 Indonesia berhasil masuk final namun gagal menjadi juara. Kita tentu masih ingat Piala AFC 2010 dimana Timnas Indonesia bermain sangat luar biasa di babak penyisihan hingga semifinal, namun karena mental yang buruk mereka berhasil dijungkalkan Timnas Malaysia yang sebelumnya telah dihancurkan dibabak penyisihan. Alasannya sederhana, hanya karena teror sinar laser di stadion Bukit Jalil Malaysia. Jika kita melihat di beberapa negara di benua Amerika dan Eropa, teror yang didapatkan pemain tidak hanya sorotan sinar laser, namun juga lemparan kembang api bahkan desingan peluru.
Namun yang terparah tentu saja para pemain yang mendadak ‘artis’. Bermain dengan sangat luar biasa di babak penyisihan membuat para pemain terlena, bukan berlatih mereka malah sutting iklan. Hal yang membuat seluruh rakyat Indonesia kecewa, bahkan menjadi tertawaan hingga kini.
Sekarang hal-hal buruk itu harus segera ditinggalkan, bukan untuk dilupakan namun dijadikan pelajaran. Rakyat yang sedang mengalami masa sulit ini butuh hiburan dan kebahagiaan, tidak harus berupa materi namun cukup berupa prestasi. Materi pemain, Tim pelatih, dukungan rakyat dan pejabat telah berdatangan. Kini lawan terberat bukanlah Vietnam, Malaysia, atau Thailand namun diri sendiri.Setelah dualisme PSSI berhasil dibenahi, dan sistem kepelatihanpun telah di evaluasi, kini tinggal mental yang harus di revolusi.




0 komentar:

Posting Komentar